Sistem pemerintahan adat marga dan pesirah yang pernah ada di Kabupaten Pesawaran semasa itu tidak terlepas dari sistem yang berlaku di Lampung umumnya. Bahkan pemerintahan adat seperti halnya marga dan pesirah sudah ada jauh sebelum adanya pemerintahan negeri. Sebab bentuk pemerintahan ini penerapannya sudah berlangsung cukup lama.
Penduduk pribumi suku Lampung di Kabupaten Pesawaran sebagian besar beradat Saibatin (Pesisir) dan selebihnya Pepadun. Disejumlah tempat di daerah ini, akan dapat ditemui perkampungan masyarakat asli suku Lampung di Pesawaran. Desa-desa penduduk pribumi ini, diantaranya berada di Negeri Sakti, Kurungan Nyawa, Gedong Tataan, Tegeneneng, Banjar Negeri, Kedondong, Padang Cermin, Punduh Pidada dan beberapa desa lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari didesanya, mereka menggunakan bahasa daerah dan adat istiadat setempat.
Di Lampung, yang disebut dengan masyarakat adat Saibatin (Pesisir), yaitu pribumi suku Lampung yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka sebagian besar banyak berdiam ditepi pantai maka masyarakatnya disebut adat Pesisir.
Sementara masyarakat beradat Pepadun, yakni pribumi suku Lampung yang melaksanakan musyawarah adatnya meng-gunakan kursi Pepadun. Adat Pepadun merupakan adat istiadat pribumi Lampung Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku (termasuk Pubian Dua Suku di Pesawaran) dan Megou Pak Tulang Bawang. Pepadun, tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang duduk dalam kerajaan adat. Pepadun digunakan saat pengam-bilan gelar kepenyimbangan (pimpinan adat).
Kegunaan Pepadun, yaitu sebagai simbol adat yang kuat dan resmi, berakarkan bukti-bukti dari masa ke masa secara turun temurun. Seorang penyimbang yang sudah bergelar Suttan di atas Pepadun sendiri atau warisan nenek moyang atau orang tuanya, maka seseorang itu akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengurus kerajaan kekerabatan adatnya.
Secara terminologi, kata Pepadun berasal dari suku kata perpaduan, yang berarti dalam bahasa daerah Lampung artinya berunding. Kursi Pepadun dalam adat sebagian besar terbuat dari bahan kayu tebal. Pepadun melambangkan pula status maupun derajat seseorang dalam sosial kemasyarakatan. Pepadun juga merupakan atribut utama dari penyimbang masyarakat Lampung beradatkan Pepadun.
Pada mulanya, kemargaan dan buai-buai yang bermukim di daerah ini, dikenal dengan nama Marga Way Semah. Masyarakat dari marga ini berada mulai dari Kurungan Nyawa (Kecamatan Gedong Tataan sekarang) hingga Bulo Tanggamus, berbatasan dengan Marga Pugung, Way Tebu. Karenanya, Marga Way Semah dianggap sebagai cikal bakal marga-marga dan buai-buai disini.
Pada abad ke 18 Masehi, terjadi peristiwa Gunung Krakatau meletus. Hal itu mengakibatkan penduduk Selimau, Seputih, Sepertiwi dan Sebadak yang berada di Cukuh Balak melakukan perpindahan permukiman ke tempat-tempat yang mereka anggap aman dari bencana alam.
Dari perpindahan penduduk pribumi suku Lampung yang bermukim di tempat ini, pada masa kemudiannya secara gene-ologis terdapat 5 (lima) wilayah teritorial. Kelima wilayah teritorial itu, terdiri dari daerah Bulo sampai dengan Banjarmasin sebagai teritorial Buai Tungau Selimau dan Tanjung Rusia sampai Kota Jawa teritorial Seputih.
Kemudian dari Kedondong hingga Kuripan atau Cimanuk teritorial Buai Khandau Selimau, Way Harong sampai Pekondah teritorial Sebadak serta Banjar Negeri, Baruraja dan Padang Manis teritorial Buai Babok Selimau. Kelima teritorial ini pada masa kemudiannya dikenal dengan sebutan Way Lima atau lima teritorial.
Marga Seputih di daerah ini terdiri dari 5 (lima) buai, masing-masing Buai Ngukha Datu yang merupakan keturunan dari Way Kanan/Baradatu, Buai Hulu Dalung keturunan Sungkai, Buai Hulu Lutung keturunan Komering, Tamba Kukhak dan Pemuka keturunan Pubian dan Meyekhakat. Buai Komering Pubian Dua Suku keturunan Buai Tamba Pupus. Sementara keturunan Selimau, Sebadak dan Sepertiwi asal wilayahnya berada di Tanjung Kuring, Hanau Berak, Cukuh Balak.
Marga dan buai-buai ini dalam adat kemasyarakatan terus berkembang berdasarkan kemargaan dan kebuaian yang ada. Dalam adat kebuaian di daerah Pesawaran, buai-buai tersebut diantaranya Buai Tamba Pupus Pubian Dua Suku, terdiri dari 6 (enam) buai. Keenam kebuaian tersebut masing-masing Buai Nuwat, Buai Pemuka Menang, Buai Pemuka Pati, Buai Pemuka Halom Bawah, Buai Pemuka Selimau dan Buai Kuning. Masing-masing kebuaian memiliki peranan didalam buainya.
Sementara, dalam penyelenggaraan pemerintahan adat, di daerah ini semasa itu terdapat sejumlah kebandaran (bandar) yang membawahi beberapa paksi, suntan/suttan, pangeran, dalom dan batin. Masing-masing dalom membawahi 4 batin, pangeran membawahi 4 dalom, suntan/suttan membawahi 4 pangeran dan paksi membawahi 4 suntan/suttan.
Berdasarkan sejumlah catatan sejarah, pemerintahan marga di Lampung sebenarnya telah dikenal setelah Kerajaan Tulang Bawang punah. Pusat kerajaan ini diperkirakan berada diantara Menggala dan Pagar Dewa, di daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat sekarang (pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang).
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia, di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut tentang keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau Sumatera ini.
Kebudayaan masyarakat setempat yang merupakan pe-nyimbang punggawa dari Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara harfiah, bu-way atau buay (buai) berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta raja.
Kekosongan dari pemerintahan teritorial ini dimanfaatkan Kerajaan Sriwijaya, yang dikenal pula dengan negara maritim, untuk menguasai daerah Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem tersebut berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang dikenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung disebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Dimana waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya disebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang dimulyakan.
Masyarakat suku Lampung, sebelumnya secara tradisional memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut dengan keratuan. Sistem pemerintahan tersebut diperkirakan berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Tulang Bawang atau pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ketika Kesultanan Palembang menguasai sebagian besar Sumatera terbentuk sistem pemerintahan marga. Di Lampung, sistem marga masih tetap berlangsung hingga masa kekuasaan Kesultanan Banten.
Ketika pengaruh Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah di Lampung terbagi dalam sejumlah wilayah keratuan, yaitu persekutuan hukum adat yang terdiri dari Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulang Bawang, Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau dan Ko-mering, Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian serta Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung.
Saat Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiri Keratuan Maringgai (Melinting) dan Keratuan Darah Putih (Kalianda), termasuk wilayah Pesa-waran berada di daerah keratuan ini. Dengan demikian, setelah punahnya Kerajaan Tulang Bawang di Lampung tidak dikenal lagi adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Tapi yang berkem-bang sistem pemerintahan demokratis dalam bentuk keratuan.
Pada sekitar abad ke 17 dan 18 Masehi, keratuan tersebut membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buai (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buai inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buai atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku). Pada tahun 1826 sistem peme-rintahan marga diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak itu, dalam struktur pemerintahan, marga berada dibawah dan tunduk kepada kekuasaan residen.
Berawal dari perkembangan politik pemerintahan Belanda yang terus berubah, membawa dampak dengan ditetapkannya Lampung berada dibawah pengawasan langsung dari Gubernur Jenderal Herman Wiliam Deandles mulai tanggal 22 November 1808. Hal tersebut ternyata berimbas pada penataan sistem pemerintahan adat yang merupakan salah satu upaya Belanda untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Pada tanggal 21 Juni 1857, pemerintah Hindia Belanda menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada susunan pemerintahan setempat. Pengakuan terhadap tatanan adat dan kemasyarakatan tersebut ditandai dengan diakuinya sistem kemasyarakatan marga-marga dibawah naungan para pimpinan penyimbang masing-masing tempat.
Sistem pemerintahan marga tidak berjalan lama. Sebab sejak tahun 1864, sesuai dengan Keputusan Residen Lampung Nomor: 362/12 tanggal 31 Mei 1864, dibentuk sistem peme-rintahan pesirah. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang diperuntukkan bagi kepentingan kolonial Belanda mulai dilakukan.
Sampai dengan tahun 1917, Keresidenan Lampung dibagi oleh pemerintahan Hindia Belanda ke dalam 2 (dua) afdeling. Kedua afdeling itu, masing-masing (1) Afdeling Teluk Betung, terdiri dari Onder Afdeling Teluk Betung, Onder Afdeling Semangka dan Onder Afdeling Katimbang. (2) Afdeling Seputih Tulang Bawang, terdiri dari Onder Afdeling Tulang Bawang, Onder Afdeling Seputih dan Onder Afdeling Sekampung.
Pembagian wilayah Keresidenan Lampung menjadi 2 (dua) wilayah afdeling dan masing-masing afdeling membawahi 3 (tiga) onder district serta marga-marga (mego-mego/megou-megou) kampung-kampung (pekon/tiyuh/anek), antara lain merupakan salah satu pengaruh dari pihak kolonial untuk mengatur sistem pemerintahan setempat. Kemudian pada tahun 1927 berdasarkan Bestuurshervormingswet 1922 (ind. Stb. 1922 no. 216) lahirlah ketetapan pemerintah Hindia Belanda tentang “Marga Reglement Voor de Lampongsche Districten”.
Ketetapan Bestuurshervormingswet, dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur sistem pemerintahan marga teritorial yang telah ditetapkan. Landasannya, dengan memperhatikan unsur-unsur genealogisch traditioneel. Kemudian antara tahun 1938-1939, ditetapkanlah peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten (IGOBG) (stb. 1938 no. 490). Penetapan itu didasarkan dengan pertimbangan bentuk kemasyarakatan warga setempat.
Untuk dapat melaksanakan Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten Gewewten dengan Besluit Resident Lampung, maka pada tanggal 21 Juli 1939 Nomor 536 ditetapkan Marga Reglement. Penetapan itu sebagai bentuk menyikapi sistem kemasyarakatan yang telah ada dan berkembang. Sebab selama masa-masa sebelumnya geneologis masyarakatnya berbentuk kemargaan.
Didalam menjalankan tampuk pemerintahannya, seorang pesirah membawahi satu kampung/desa/pekon yang berada di-daerahnya. Pesirah sebagai kepala pemerintahan teritorial di angkat dari seorang putra daerah setempat. Sistem dan bentuk pemerintahan yang pernah diterapkan ini, tidak terlepas dari kepesirahan di Provinsi Lampung umumnya. Karena di daerah-daerah lainnya di Sumatera bagian Selatan pemerintahan pesirah juga diberlakukan.
Penetapan terhadap pemerintahan pesirah dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928. Penetapan itu juga disertai dengan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada dalam kepesirahan. Antara tahun 1927-1928, pemerintah Hindia Belanda kembali mengatur struktur masyarakat hukum adat yang ber-bentuk kemargaan. Dengan pengaturan tersebut, di Lampung sedikitnya terdapat 83 marga dan sebanyak 78 marga diantaranya mayoritas penduduk asli suku Lampung.
Bentuk pemerintahan marga waktu itu, sebenarnya bukan hanya diterapkan di Lampung saja, tapi juga di wilayah Sumatera Bagian Selatan, seperti Palembang, Bengkulu dan Lampung. Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, yang berdiri tahun 1572 dengan rajanya yang pertama bernama Ki Gede Ing Sura dan mulai surut karena dihapus kolonial Belanda tahun 1825, dengan rajanya yang terakhir bernama Sultan Mahmud Bada-ruddin juga menerapkan pemerintahan marga.
Sistem pemerintahan kemargaan di Pulau Sumatera waktu itu diciptakan Kesultanan Palembang dalam upaya untuk menguasai kehidupan politik dan perekonomian terhadap daerah-daerah yang berada dibawahnya. Sistem pemerintahan ini cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan sosial politik yang lebih besar dan kompleks.
Berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional seperti halnya keratuan di daerah Lampung, pemerintahan marga bagian dari sistem pemerintahan yang bersifat otoriter, dimana para pemimpinnya dipilih dan diangkat secara rasional (tidak secara turun temurun) oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi.
Pembentukan marga-marga ini mengacu pada Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku pada abad ke 17 Masehi di wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629–1636).
Hierarki pemerintahan dibawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga, Kerangga atau Tumenggung. Wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah yang menjadi kekuasaan Rangga terdiri beberapa marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati.
Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang didesanya terdapat pesirah bukan disebut kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa (bahasa daerah= penggawo). Banyaknya jumlah penggawa tergantung dari jumlah kampung yang ada didalam sebuah marga. Pada masa-masa awal, jabatan untuk depati banyak yang dijabat turun temurun. Jabatan pesirah, selain sebagai kepala marga juga ketua lembaga adat.
Mengenai sistem marga, sebenarnya telah pula diatur serta dituangkan ke dalam perundang-undangan negara Bab IV Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi:
1. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan mempunyai daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah itu bersifat autonoom (streek dan locale reehtsgemeenscppen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersipat autonoom akan diadakan badan Perwakilan Daerah, oleh karena didaerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2. Dalam territorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelfbestrurende landschappen” dan “Volksgemeen-schappen” seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan seba-gainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Dari penjelasan Bab IV Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, dapat dikatakan bahwa pemerintahan marga merupakan perwujudan daerah-daerah yang mempunyai susunan asli atas dasar asal-usul. Sehingga oleh negara, kedudukannya dianggap sebagai daerah istimewa. Keistimewaannya terlihat pula dari sistem dan bentuk kepemerintahan, dimana keberadaannya bercirikan kedaerahan.
Demikian juga halnya dengan kemargaan dan dusun-dusun di wilayah Palembang (termasuk marga-marga dan kampung-kampung di Lampung), meskipun telah ada pemerintahan negara, sistem marga sebagai bentuk pemerintahan teritorial masih tetap diterapkan. Hal itu diantaranya untuk mengingati hak-hak dan asal-usul daerah bersangkutan.
Pemerintahan marga yang dihapus tahun 1953 merupakan sistem kepemerintahan masyarakat yang bersendikan atas dasar suku, asal-usul serta bersifat kedaerahan yang pernah diterapkan Kabupaten Pesawaran khususnya dan Lampung pada umumnya. Bahkan semasanya, bentuk pemerintahan ini dilaksanakan pula di daerah-daerah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel).
Saat itu, wilayah di Lampung Selatan yang ibukotanya di Tanjung Karang berasal dari 4 (empat) kewedanaan, masing-masing Kewedanaan Kalianda, Kewedanaan Teluk Betung, Ke-wedanaan Gedong Tataan dan Kewedanaan Kota Agung. Awal tahun 1967, Gedong Tataan dijadikan kewedanaan dan daerah di Pesawaran sekarang berada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok Pemerintahan Desa, sistem lama secara resmi mulai dihapuskan. Selanjutnya, untuk segala urusan yang menyangkut ketatapemerintahan dipedesaan diatur oleh aparatur desa/kampung masing-masing.
Dilingkungan orang Lampung umumnya, terdapat beberapa istilah penamaan untuk menyebut tingkatan kesatuan wilayah. Penyebutan tingkatan wilayah itu biasa disebut megou (marga), pekon atau tiyuh/anek (kampung) dan umbul/umo. Bila dilihat dari sisi peranan, fungsi serta kedudukannya, marga merupakan satu kesatuan wilayah, yang terdiri dari sejumlah kampung (pekon, tiyuh/anek) yang dimukimi beberapa suku bagian dari buai.
Untuk sebuah pekon, tiyuh dan anek setidaknya didiami 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) suku bahkan bisa lebih. Suatu suku yang mendiami tempat itu merupakan sub clan. Kumpulan suku-suku meliputi beberapa cangkai (keluarga luas) dan cangkai terdiri dari sejumlah nuwo (rumah) yang fungsinya sebagai tempat tinggal atau menetap sebuah keluarga. Suku-suku ini dalam bermasyarakat hidup berdampingan dengan warga lainnya.
Kampung-kampung penduduk asli dapat diklarifikasi dalam beberapa bagian (tergantung dari jumlah suku yang mendiami suatu kampung) yang sering disebut bilik; tempat kediaman suku. Disamping bangunan rumah, juga terdapat sesat (rumah adat) yang biasanya terletak di tengah-tengah kampung dan berdekatan dengan bilik kerabat penyimbang bumi (rumah kediaman kerabat pemimpin adat).
Bangunan Sesat bagi masyarakat Lampung bisa dikatakan sebagai wadah dan sebuah simbol akan azas musyawarah-mufakat serta kerukunan antar penduduk kampung. Hal itu sesuai dengan fungsi serta peranannya sebagai rumah adat bagi warga setempat. Ditempat ini, pada saat-saat tertentu terutama ketika pelaksanaan upacara adat, seperti perkawinan sering digelar prosesi perayaan. Disini berkumpul keluarga, sanak saudara, besan, kerabat, warga kampung serta undangan lainnya me-laksanakan prosesi sesuai dengan tata cara serta aturan adat.
Berdasarkan masyarakat adat asli Lampung yang bersifat genealogis dan teritorial, pola-pola kepemimpinan didalam mas-yarakatnya dapat dibedakan menjadi dua macam kelompok, masing-masing kepemimpinan kekerabatan genealogis dan pola kepemimpinan pemerintahan teritorial.
Kedua kelompok ini merupakan tingkatan kepemimpinan yang berkembang dilingkungan setempat, dimaksudkan sebagai sistem keteraturan dalam memimpin dan dipimpin. Bentuk ke-pemimpinan tersebut dapat dilihat dari kehidupan pribumi suku Lampung yang masih memegang teguh adat istiadat yang sejak dulu berkembang dilingkungan masing-masing.
Bentuk kepemimpinan dalam kekerabatan genealogis, bagi masyarakat adat yang banyak memegang peranan penting, yakni penyimbang-penyimbang. Penyimbang merupakan tokoh/pemuka masyarakat adat yang oleh karena keturunan menjadikan mereka sebagai panutan (tutuken), yang didalam kampung maupun diluar kampungnya mereka dianggap sebagai sosok orang-orang yang dituakan.
Ditengah kultur kehidupan penduduk pribumi Lampung yang masih tergolong feudal tempo dulu, banyak anak dari seorang penyimbang yang diharuskan menikah dengan anak penyimbang pula. Artinya, status sosial mereka harus setaraf; duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Hal ini diantaranya dimaksudkan agar tidak ada perbedaan status diantara mereka. Apalagi penyimbang memiliki peranan penting bagi adat istiadat setempat.
Biasanya juga, seorang penyimbang adat merupakan kepala kerabat yang berperan memegang kekuasaan penuh atas dasar musyawarah dan mufakat bagi para anggotanya. Pada tingkat kemargaan (buai asal), pola kepemimpinan seperti itu disebut penyimbang tiyuh dan pada tingkat suku disebut dengan pe-nyimbang suku.
Kedua macam penyimbang tersebut di tengah kehidupan masyarakat adat mengambil peranan cukup penting didalam kemargaannya. Kenyataan itu dapat dilihat dari kedudukan dan peranannya. Mengingat statusnya didalam adat setempat yang menjadikannya sedemikian.
Dalam adat, penyimbang marga mempunyai hak-hak, tugas serta wewenang untuk meresmikan penyimbang-penyimbang lainnya. Sedangkan untuk penyimbang lain (selain penyimbang marga) hanya berkuasa di tingkat kaum kerabatnya saja. Mereka tak memiliki hak untuk mengangkat penyimbang. Sebab aturan itu memang sudah menjadi ketentuan yang berlaku dan sejogyanya ditaati dilingkungan masyarakatnya.
Penduduk asli suku Lampung di Pesawaran, baik beradat Saibatin (Pesisir) maupun Pepadun, diantaranya berasal dari Buai Tungau Selimau, Khandau Selimau, Babok Selimau, Seputih, Sebadak, Sepertiwi, Ngukha Datu, Hulu Dalung, Hulu Lutung, Tamba Kukhak, Pemuka, Tamba Pupus dan Menyekhakat (Buai Komering Pubian Dua Suku).
Sistem pemerintahan adat di daerah ini semasa itu juga pernah ada pemerintahan marga, pesirah dan negeri. Sementara Tataan (Gedong Tataan) pernah menjadi kewedanaan, yang wilayahnya membawahi semua kecamatan-kecamatan, baik yang saat ini berada di Kabupaten Pesawaran maupun tempat-tempat yang sekarang wilayah Kabupaten Pringsewu.
Waktu terus berlalu dan peradaban semakin berkembang dan maju. Eksistensi kebudayaan Lampung saat ini secara global dihadapkan pada dua tantangan, yaitu secara internal dan eksternal. Untuk membangun komunikasi dan hubungan yang harmonis, tidak hanya dengan masyarakat adat pribumi Lampung, tetapi juga dengan masyarakat pendatang lainnya. Menyikapi hal itu, Rabu, 10 Maret 2010 bertempat di Balai Adat Sai Bathin Kedondong dilantik pengurus Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Kabupaten Pesawaran periode 2010-1014.
Dengan dilantiknya majelis penyimbang adat Lampung di Pesawaran ini, ke depan diharapkan dapat berfungsi untuk menjaga, melestarikan, mengembangkan serta melindungi adat dan budaya daerah Lampung. Dibalik tantangan internal dan eksternal, kebudayaan Lampung dapat tampil dinamis serta tetap eksis mengikuti perubahan zaman (Akhmad Sadad/PO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar