Pesawaran Daerah Kolonisasi Pertama di Indonesia
Sejarah perpindahan penduduk antar pulau di Indonesia atau lebih dikenal transmigrasi diawali pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu disebut dengan istilah kolonisasi. Sedangkan mereka yang mengikuti program ini disebut kolonis. Sebagian besar masyarakat yang berkolonisasi tersebut berasal dari Pulau Jawa dan penempatannya berada di Pulau Sumatera.
Program kolonisasi di Indonesia merupakan bagian strategis dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter, yakni politik balas budi pada rakyat yang secara garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi dan kolonisasi itu sendiri.
Adanya politik etis bermula dari timbulnya berbagai kritik, terutama golongan liberal di negeri Belanda terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintahnya menyangkut jajahan khususnya Indonesia. Kritikan tersebut pada mulanya disampaikan kaum oposisi tahun 1860. Kemudian kritik itu menjadi luas lagi. Sebab selain dari oposisi juga datang dari beberapa tokoh yang memang bersimpati terhadap rakyat Indonesia.
Baron Van Hoevell serta Vitalis, tokoh dari pihak oposisi menegaskan perkembangan dari usaha dapat mendatangkan kemakmuran bagi negara-negara jajahannya, termasuk bangsa Indonesia. Buku Max Havelaar karangan Doewes Dekker, kakek paman EF. E. Doewes Dekker pimpinan Indische Party yang memiliki nama samaran Multatuli memberi informasi yang bersifat objektif tentang masyarakat Indonesia kepada warganya di negeri Belanda.
Dengan lahirnya Undang-Undang Agraria tahun 1870, maka mulai pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di Indonesia. Sejak itu pula politik liberal kolonial berlangsung. Dibawah politik liberal kolonial, situasi menunjukkan pernyataan yang selalu didengungkan dengan bijak, bahwasanya pengusaha swasta Belanda mampu meningkatkan kemakmuran bagi rakyat ternyata tidak benar.
Akibat yang dialami rakyat tetap dalam keadaan tidak baik. Tak lebih dibandingan dengan pada zaman pelaksanaan sistem tanam paksa. Hal tersebut dimungkinkan karena penetrasi ekonomi yang dilakukan para pengusaha swasta Belanda tidak hanya tertuju pada lapisan masyarakat atas, melainkan justru dapat lebih menjangkau lapisan jauh ke bawah atau yang lebih rendah. Kenyataan ini menyebabkan semakin besarnya import dari luar negeri, disamping semakin matinya kehidupan ekonomi tradisional.
Dampak negatif lainnya dari liberalisme, perekonomian penduduk yang didasarkan atas pertanian, bergeser dan terdesak ke arah ekonomi uang. Banyak petani kehilangan tanah akibat perluasan perkebunan dan perindustrian. Warga setempat tidak mempunyai tanah garapan lagi. Sehingga beralih dari pekerjaan tani ke arah sebagai buruh dalam perkebunan maupun di pabrik-pabrik industri.
Dengan demikian jelas, baik tanam paksa maupun politik liberal kolonial tetap hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Perbedaannya hanya kalau dalam tanam paksa subjek pelaku investasi pemerintah Belanda, sedangkan dalam politik liberal kolonial subjek pelakunya perusahaan-perusahaan swasta. Tapi kedua-duanya sama-sama melaksanakan prinsif harus menyumbangkan saldo ke negeri Belanda. Suatu kebijakan yang biasa disebut dengan istilah drainage politiek atau batig slot politiek.
Karenanya tidak mengherankan jika pada akhir abad ke XIX, keadaan perekonomian rakyat, terutama di Pulau Jawa semakin merosot. Kemerosotan ini lebih lanjut mengakibatkan terjadinya demoralisasi serta kerugian terhadap sendi-sendi organisasi masyarakat. Keadaan yang sedemikian menyebabkan semakin kerasnya kritik yang ditujukan kepada kebijakan pemerintah Belanda untuk negeri jajahannya.
Kritik tersebut mengarah kepada suatu pembaharuan yang lebih relevan demi untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan rakyat Indonesia. Selanjutnya kritik yang menjadi pola dan program dari kolonial itu akhirnya dikenal dengan apa yang disebut dengan politik etis.
Politik etis upaya strategi yang digunakan pemerintah Hindia Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Pulau Jawa. Usaha mereka untuk memperluas wilayah perkebunan diluar Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.
Dalam hal ilmu pengetahuan, semasa itu bangsa Belanda memang sudah lebih duluan maju peradabannya. Sebelum pemerintah Kolonial Belanda datang ke Indonesia, mereka telah lebih dahulu mengirim ahli sosiologi dan antropologi terkemuka, Snouck Hurgronje (1857-1936) untuk melihat dan memahami budaya dan perilaku masyarakat setempat.
Adanya politik etis tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran kalau negeri Belanda dirasa memiliki keharusan untuk membalas budi baik rakyat Indonesia melalui program yang dikenal dengan Trilogi Van de Venter. Program ini merupakan hasil kajian kolonial Belanda terhadap daerah jajahannya.
Menurut pendapat mereka, pemerintah Belanda harus menempuh tiga kebijakan guna memajukan rakyat setempat. Tetapi dalam pelaksanaannya, ketiga bidang itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita kaum liberal untuk mengangkat kemakmuran dan taraf hidup masyarakat.
Praktek Trilogi tersebut kenyataannya menunjukkan justru dimaksudkan guna melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini lebih intensif lagi. Edukasi yang bertujuan membuka jenjang pendidikan berupa sekolah-sekolah untuk mencerdaskan rakyat, pada hakikatnya hanya usaha pemerintah Belanda untuk menciptakan tenaga kerja yang murah. Sekolah yang dibuka bukanlah untuk semua lapisan masyarakat namun sangat terbatas.
Demikian pula dengan pelajaran yang disajikan di sekolah itu, hanya meliputi pelajaran yang sifatnya dapat membantu kaum penjajah Belanda dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri dan perkebunan secara lebih mendalam, yang selanjutnya demi semakin besarnya keuntungan pihak penjajah.
Lulusan dari sekolah itu, ternyata merupakan tenaga kerja yang diperlukan dalam industri dan perkebunan sebagai tenaga kerja rendahan. Suatu jabatan yang dipandang tidak pantas diduduki oleh personal berkulit putih, seperti mandor, juru tulis, yang kesemuanya dapat di gaji dengan jumlah yang kecil dan murah.
Pembangunan jaringan irigasi, sesungguhnya bukan untuk kepentingan rakyat, khususnya petani, melainkan salurannya bagi kepentingan Balanda. Irigasi bukan untuk mengairi areal sawah milik rakyat, namun prioritasnya guna mengairi kebun-kebun milik swasta, terutama kebun tebu, karet dan tembakau serta berbagai tanaman lain yang menguntungkan serta laku keras dipasaran internasional.
Pelaksanaan kolonisasi pada dasarnya bukan mengacu kepada kepentingan rakyat. Kolonisasi direalisasikan tidak lain untuk menghadirkan tenaga kerja baru dari Pulau Jawa ke luar pulau guna mendukung keberhasilan perekonomian Belanda, yakni perkebunan dan industri yang berkaitan dengan hasil kebun tersebut. Realisasi kolonisasi tadi dikarenakan sangat jarangnya penduduk diluar Jawa. Sehingga terlalu sukar untuk mendapatkan tenaga kerja.
Hal itu juga dilakukan Belanda ketika hadir di Lampung. Mereka mengadaptasi sistem pemerintahan lokal, terutama pemerintahan adat untuk mengontrol kawasan yang kaya akan hasil bumi. Pemerintah Kolonial Belanda saat itu tetap menghidupkan pola-pola pemerintahan lokal yang berbentuk kepasirahan atau komunitas masyarakat adat.
Sistem tersebut rupanya mampu memberikan keleluasaan bagi Belanda untuk dapat mengontrol masyarakat. Bahkan semasa itu Belanda membiarkan kepasirahan menggunakan tata pemerintahan dan hukum lokal untuk menangani kasus-kasus tertentu yang ada di tengah masyarakat, tanpa mereka harus turun tangan ikut serta menyelesaikannya.
Penetapan pemerintahan kepesirahan yang dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928, disertai pula dengan penetapan dan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada didalam kepesirahan. Namun selanjutnya pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda mengatur kembali struktur masyarakat hukum adat yang berbentuk marga.
Pengaturan itu tertuang dalam suatu tatanan pemerintahan adat yang dikenal dengan Marga Regering Voor de Lampungche Districten. Dengan adanya pengaturan tersebut, di daerah Lampung terdapat 83 marga, tersebar di wilayah mulai dari Lampung Selatan hingga berbatasan Sumatera Selatan dan berbatasan dengan Bengkulu sekarang. Sebanyak 78 dari 83 marga ini merupakan marga mayoritas penduduk asli Lampung.
Penegasan secara administratif tersebut kenyataannya telah pula menjadi dasar penyelesaian konflik tanah pada masa itu. Batas-batas wilayah menjadi tanggung jawab masing-masing marga, baik hak-hak atas tanah maupun pengelolaannya. Semua persoalan yang berkaitan dengan tanah saat diselesaikan mengacu pada ketentuan yang telah dibuat.
Meskipun demikian, kemunculan pemerintahan kepesirahan sebagai pucuk pimpinan di kemargaan tidak meminggirkan kontrol Belanda terhadap perilaku warga. Kepemimpinan lokal dan modernisasi administrasi hukum lokal menjadi tanggung jawab pesirah (kepala marga). Namun pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kriminalitas dan keamanan lokal menjadi wewenang pemerintah Belanda.
Cara dan strategi kolonial Hindia Belanda untuk menguasai Lampung terbukti berhasil. Bahkan taktik yang sebelumnya sudah terprogram tersebut membuat kebijakan dan peluang untuk tidak mengubah susunan struktural masyarakat yang telah ada serta berkembang, seperti sisten pemerintahan adat kemargaan dan sebagainya. Sehingga memberi keleluasaan bagi Belanda untuk mengelola wilayah itu.
Dengan pendekatan demikian, pemerintah Belanda pada akhirnya dapat membaca situasi dan mampu menguasai kawasan daerah Lampung yang membentang dari Bakauheni di ujung Pulau Sumatera hingga Liwa, Blambangan Umpu dan Mesuji yang merupakan wilayah Lampung berbatasan dengan Sumatera Selatan saat ini.
Selain mengadopsi sistem lokal yang berlaku dalam tata pemerintahan administratif, penggunaan strategi infrastruktur yang dilakukan pihak Belanda pun terbukti akurat. Misalnya dengan pembukaan wilayah-wilayah di daerah pedalaman di Lampung dengan jalur kereta api, membuat Belanda menguasai betul jalur perdagangan lada yang merupakan komoditas utama semasa itu.
Lada (sahang) salah satu hasil bumi yang banyak ditanam petani di beberapa wilayah daerah di Lampung tetap menjadi incaran mereka. Dalam hal ini, Belanda pernah mengalami puncak kejayaannya terhadap penjualan lada diberbagai belahan dunia berabad-abad lamanya. Lampung salah satu daerah penghasil lada di Indonesia menjadi target untuk mendapatkan komoditi tersebut.
Selain itu, jaringan jalan utama dan irigasi teknis dibangun untuk bisa memberikan akses yang lebih bagi Belanda untuk mengeksploitasi potensi dan kekayaan alam Lampung. Bahkan dapat menggenjot laju perkembangan hasil bumi waktu Belanda melancarkan kolonisasi di Lampung. Itu mengulang suksesnya dalam pengelolaan lahan perkebunan di Deli Serdang dan Medan, Sumatera Utara. Antara tahun 1905 dan 1942 Belanda mendatangkan ribuan warga dari Jawa untuk bekerja di ladang-ladang kopi, tebu dan persawahan di Pulau Sumatera.
Program kolonisasi pertama di Indonesia penempatannya berada di Lampung. Warga yang berasal dari Pulau Jawa ini ditempatkan ke Lampung berlangsung pada tahun 1905. Saat itu, kafilah generasi pertama dibawa oleh salah satu tokoh yang bertindak sebagai koordinator bernama Kartoredjo.
Rombongan ini disebut juga sebagai cikal bakal kolonisasi Desa Bagelen angkatan pertama yang datang pada tahun 1905. Karena mereka warga kolonis pertama yang diberangkatkan dari Bagelen Jawa Tengah. Rombongan kolonis dari Jawa tersebut berpindah ke Lampung diangkut dengan kapal laut merapat di pelabuhan Teluk Betung.
Rombongan angkatan pertama tersebut, setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, untuk ke lokasi penempatan selanjutnya berjalan kaki. Daerah yang mereka tuju sebuah tempat bernama Gedong Tataan. Selama tiga hari rombongan ini berjalan. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul atau dipanggul. Bila lelah rombongan beristirahat. Daerah yang dituju, yaitu Gedong Tataan, ternyata masih berupa hutan belukar dan tempatnya belum banyak dihuni penduduk.
Rombongan kolonis angkatan Kartoredjo saat itu sebanyak 43 orang, yang 3 diantaranya wanita. Ketiganya diberi tugas khusus untuk masak memasak. Ketika itu, betapa sulitnya menerobos hutan. Jalan yang dilewati masih berupa jalan setapak. Sementara, perkampungan penduduk pribumi Lampung yang ada di daerah ini kebanyakan masih perdusunan/pedukuhan dan umbul-umbul.
Setelah tiba ke tempat tujuan, mulailah mereka menebangi pohon-pohon dan semak belukar pada areal yang dituju. Untuk selanjutnya, setelah daerah penempatan sudah terbuka, secara bertahap kolonis-kolonis ini mulai membangun tempat tinggal masing-masing dengan berdindingkan papan atau kayu serta beratapkan rumbia/alang-alang.
Kedatangan para kolonis dari daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah ke Gedong Tataan dalam penempatannya tidak terjadi sekaligus. Namun rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur dalam beberapa tahun seiring dengan kesiapan penyiapan untuk lahan pemukiman yang dilakukan rombongan pendahulunya.
Hadirnya para kolonis dengan tempat tinggal mereka, membuat tumbuh perkampungan baru di daerah ini. Tempat yang tadinya jarang penduduknya dan masih banyak ditumbuhi pepohonan dan semak belukar di mana-mana itu lambat laun mulai lebih banyak yang bermukim.
Setelah kedatangan kolonis ke daerah ini, perkembangan bukaan baru terus mengalami kemajuan. Bukan hanya dalam hal tingkat keramaian maupun bangunan fisik saja, tetapi juga daerah yang ada secara berangsur-angsur mulai semakin terbuka dan penduduk kolonis pun makin bertambah. Sebagai masyarakat datangan, mereka mau bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membangun daerahnya, meskipun segala sesuatu masih dalam keterbatasan.
Secara umum, rombongan kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke daerah Gedong Tataan dibagi dalam 5 tahap, yaitu angkatan pertama pada tahun 1905, angkatan kedua tahun 1906, angkatan ketiga tahun 1907, angkatan keempat tahun 1908 dan angkatan kelima tiba pada tahun 1909. Hal ini berarti kedatangan rombongan tersebut direncanakan oleh pemerintah Hindia Belanda selama kurun waktu 5 tahun berturut-turut.
Selanjutnya, pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda memberikan kebijakan dengan menyerahkan tanah-tanah di Desa Bagelen Gedong Tataan pada rakyat desa untuk 537 bauw atau sekitar 424 hektar. Setiap kepala keluarga (KK) mendapat bagian tanah 1 bauw dengan perincian 0,25 bauw untuk pekarangan dan 0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan.
Secara terperinci, berdasarkan monografi Desa Bagelen Gedong Tataan, jumlah rombongan warga kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang datang ke Gedong Tataan, yakni rombongan pertama datang tahun 1905 sebanyak 43 orang, terdiri dari 40 orang laki-laki dan 3 perempuan yang dipimpin oleh Tuan Eteeng.
Pada tahun 1906 atau rombongan kedua menyusul sebanyak 203 orang atau 100 KK yang dipimpin Tuan Heers. Tahun 1907 datang lagi sebanyak 100 orang atau 50 KK. Rombongan ketiga ini dipimpin Tuan Alweek. Rombongan keempat tahun 1908 menyusul sebanyak 500 orang atau 250 KK dipimpin Tuan Baang dan rombongan kelima tahun 1909 jumlah jiwa yang didatangkan tidak jelas. Begitu pula yang memimpin rombongan tersebut.
Dari kelima gelombang yang diketahui, kedatangan kolonis ini yang terbanyak rombongannya didatangkan pada tahun 1908. Rombongan yang dipimpin oleh Tuan Baang ini mencapai 250 kepala keluarga atau sebanyak 500 jiwa. Sementara rombongan yang sedikit tiba pada gelombang pertama tahun 1905 yang dipimpin oleh Tuan Eteeng. Kolonis yang didatangkan hanya 43 jiwa, yang 3 diantaranya perempuan.
Berdasarkan pembagian atas tanah kepada setiap kepala keluarga, rumah-rumah penduduk kolonis pada areal yang dibuka dibuat bersusun dengan posisi berjejer dan dibatasi jalan penghubung. Uniknya, jalan-jalan yang ada di desa ini rata-rata berbentuk pertigaan (simpang tiga) dan sejumlah persimpangan yang membujur lurus hingga ke pertigaan berikutnya.
Sejak tahun 1905 hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen terdiri dari 10 pedukuhan, yaitu Pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, Bagelen IV, Bagelen V (Jembarangan), Bagelen VI (Kutoarjo I), bagelen VII (Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II) dan Pedukuhan Bagelen X (Wonorejo).
Ketika Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama di Indonesia yang berdiri tanggal 20 Mei 1908, yang merupakan tonggak sejarah permulaan mulainya pergerakan nasional, tidak terlihat adanya tanda-tanda organisasi ini berpengaruh besar di Lampung, terutama di Desa Begelen, Gedong Tataan. Pengikut Budi Utomo di daerah ini belum nampak, meskipun disini sebelum dan sesudahnya telah berlangsung kolonisasi sejak tahun 1905 hingga 1909.
Hal ini dapat difahami, mengingat para penduduk asal Jawa yang berkolonisasi ke wilayah Pesawaran waktu itu kebanyakan rakyat biasa, yang belum faham benar dalam berorganisasi. Sementara, Budi Utomo pada umumnya bergerak di kalangan terpelajar, kaum bangsawan maupun priyayi yang kesemuanya itu dapat digolongkan sebagai kaum elite.
Meskipun demikian, terlepas dari tonggak pergerakan nasional di Pulau Jawa, kedatangan ratusan jiwa kolonis asal Jawa Tengah ke daerah ini juga merupakan babak baru perkembangan pembauran masyarakat antar pulau sebelum adanya program pemerintah Republik Indonesia yang dikenal dengan sebutan transmigrasi.
Perkembangan jiwa penduduk yang terus bertambah dari waktu ke waktu membuat desa tersebut semakin ramai. Pertambahan jiwa ini tidak hanya disebabkan dengan kedatangan rombongan para kolonis dalam beberapa tahap, akan tetapi perkembangannya juga dari keturunan-keturunan selanjutnya.
Semenjak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen telah dimekarkan menjadi beberapa desa yang wilayahnya, terdiri dari Pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III dan Pedukuhan Bagelen IV.
Adapun kepala desa (Kades) yang pernah memimpin Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, antara lain Poerwo (1905-1907), Kartoredjo (1907-1912), Sastro Sentiko (1912-1920), Pawiro Tinoyo (1920-1945), Mangunrejo (1945-1958), Sastro Suwarno (1958-1968), Suparman (1968-1970), Ahmad Fariji (1970-1980), Toyo Day Rizal (1980-1988), Wagiso (1988-2006) dan Edi Suriyanto (2006 hingga periode 2013) (Dikutif dari buku "Kabupaten Pesawaran Dalam Untaian Sejarah", Penyusun: Akhmad Sadad, Penerbit: Pemda Kabupaten Pesawaran).
Perjuangan Dibalik Gunung Pesawaran
Walaupun wilayah Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, baru dimekarkan dari kabupaten induknya Lampung Selatan tahun 2007, namun berbagai peristiwa sejarah pernah mewarnai daerah ini, seperti adanya pemerintahan adat, sebagai daerah kolonisasi pertama di Indonesia, pertempuran di sejumlah tempat di Pesawaran saat agresi militer Belanda II, bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan hingga pemekaran kabupaten.
Penduduk pribumi suku Lampung di Kabupaten Pesawaran sebagian besar beradat Saibatin dan selebihnya Pepadun. Disejumlah tempat di daerah ini akan dapat ditemui kampung-kampung masyarakat asli suku Lampung di Pesawaran. Perkampungan penduduk pribumi ini, diantaranya berada di Gedong Tataan, Negeri Sakti, Way Lima, Padang Ratu, Kedondong, Padang Cermin, Punduh Pidada, Tegeneneng dan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari di kampung, mereka menggunakan bahasa daerah dan adat istiadat setempat.
Selain masyarakat asli suku Lampung, daerah di Pesawaran dimukimi pula penduduk pendatang, baik melalui kolonisasi maupun datangan lainnya. Sejarah panjang transmigrasi di Indonesia yang dimulai pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda, yang awalnya dikenal dengan istilah kolonisasi, penempatannya pertama kali dilakukan di wilayah Kabupaten Pesawaran sekarang. Mereka yang mengikuti program ini disebut kolonis.
Program kolonisasi tersebut merupakan bagian dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter, yakni politik yang dianggap politik balas budi pada rakyat yang secara garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi dan kolonisasi. Meskipun pada akhirnya diakui program ini hanya politik untuk untuk menarik simpati masyarakat.
Kolonisasi pertama di Lampung berlangsung pada tahun 1905 dan penempatannya berada di Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Kedatangan para kolonis dari Bagelen Purworejo Jawa Tengah ke daerah ini berlangsung dalam 5 (lima) tahap, yakni antara tahun 1905 hingga 1909. Selama 5 tahun berturut-turut pemerintah Hindia Belanda mendatangkan warga tersebut seiring dengan penyiapan lahan bagi mereka.
Setelah 3 tahun diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia, di akhir tahun 1948 keadaan di Lampung terbilang relatif tenang pasca agresi militer Belanda II. Hal tersebut disebabkan pada waktu itu masih dalam suasana gencatan senjata akibat adanya Perjanjian Renville. Namun kenyataannya pihak Belanda ternyata mengingkari perjanjian yang sebelumnya telah disepakati.
Dengan bala tentaranya, awal Januari 1949 Belanda memasuki Lampung dan tanggal 15 Januari 1949 setelah terjadi pertempuran sengit dengan TNI dan lasykar, Gedong Tataan berhasil mereka duduki. Pasukan Belanda menyerang Gedong Tataan bukan dari arah Kemiling, melainkan melalui Branti, Pejambon dan Halangan Ratu.
Kedatangan Belanda ke Lampung pada agresi militer Belanda II kenyataannya menimbulkan perlawanan di berbagai tempat di Lampung, baik di Kota Tanjung Karang – Teluk Betung, Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan dan juga tempat-tempat yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Pesawaran, seperti halnya peristiwa pertempuran di Gedong Tataan, Kota Dalam, Kedondong, Way Layap dan Kali Pekir, Way Lima.
Situasi mereda setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Tanggal 27 Desember 1949 peristiwa paling bersejarah dalam melawan penjajah di tanah air. Tanggal ini merupakan penyerahan secara simbolik daerah Lampung dari Belanda. Perjuangan fisik yang selama masa itu terus dikobarkan tidak sia-sia. Tanah air akhirnya kembali ke pangkuan pertiwi.
Sebelum dimekarkan dari kabupaten induknya, daerah di Pesawaran masih kewedanaan dan kecamatan-kecamatan, bagian dari wilayah Kabupaten Selatan (Lamsel), Residen Lampung (Residentie Lampongshe Districten), salah satu dari dari 3 kabupaten yang ada di Residen Lampung atau salah satu 14 kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Berselang tahun kemudian, kebijakan mengenai wacana pembentukan kabupaten-kabupaten di wilayah Sumatera Selatan mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Kabupaten Lampung Selatan, yang sudah ada pejabat bupati, akhirnya secara yuridis dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat (UU Darurat) Nomor 4 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan (LN Tahun 1956 Nomor 55, TLN Nomor 1091).
Undang-undang darurat tersebut ditetapkan pada tanggal 14 November 1956 oleh Presiden Republik Indonesia (RI) pertama, Ir. Soekarno (Bung Karno). Selanjutnya undang-undang ini diundangkan oleh Menteri Kehakiman, Moeljatno pada tanggal 24 November 1956. Sementara menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah Soenarjo.
Dengan demikian, dibawah tahun 1964, wilayah Pesawaran masih menjadi bagian Residen Lampung Provinsi Sumatera Selatan. Namun sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964, Pesawaran bagian dari Kabupaten Lampung Selatan, salah satu dari 3 daerah tingkat II (Dati II) otonom di Provinsi Lampung.
Terbentuknya Kabupaten Pesawaran yang akhirnya dimekarkan dari kabupaten induknya Lampung Selatan melalui tahapan proses perjuangan yang cukup panjang. Hal tersebut diawali sebelum Provinsi Lampung memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Awal tahun 1967 wilayah Lampung Selatan yang ibukotanya di Tanjung Karang, sebelum akhirnya ibukota kabupaten berkedudukan di Kalianda, daerah ini terdiri dari 4 (empat) wedana, masing-masing Kewedanaan Kalianda, Kewedanaan Teluk Betung, Kewedanaan Gedong Tataan dan Kewedanaan Kota Agung. Daerah di Kabupaten Pesawaran kala itu berada di wilayah Kewedanaan Kalianda.
Pada tahun 1968 Kabupaten Lampung Selatan diusulkan untuk dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Rajabasa dengan ibukota Kalianda sekarang Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Tanggamus dengan ibukota Kota Agung yang terbentuk pada Tahun 1997 dan Kabupaten Pesawaran dengan ibukota Gedong Tataan terbentuk pada Tahun 2007.
Dari beberapa tahapan kebijakan daerah tersebut, maka akhirnya pada tanggal 17 Juli 2007 DPR RI menyetujui Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007 tertanggal 10 Agustus 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran di Provinsi Lampung dengan 7 (tujuh) wilayah kecamatan. Ketujuh kecamatan itu, masing-masing Kecamatan Gedong Tataan, Negeri Katon, Tegineneng, Way Lima, Padang Cermin, Punduh Pidada dan Kedondong.
Sebagai tindak lanjut dari penetapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri kemudian menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten/Kota melalui Surat Menteri dalam Negeri Nomor: 135/2051/SJ tanggal 31 Agustus 2007.
Pada tanggal 2 November 2007, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atas nama Presiden Republik Indonesia (RI) melaksanakan peresmian pembentukan Kabupaten Pesawaran dengan melantik penjabat bupati Pesawaran yang pertama dan dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia. (Akhmad Sadad)