www.pesawaranonline.com

www.pesawaranonline.com

Selasa, 06 April 2010

Kolonisasi Pertama di Indonesia

Sejarah perpindahan penduduk antar pulau di Indonesia atau lebih dikenal transmigrasi diawali pada masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu disebut dengan istilah kolonisasi. Sedangkan mereka yang mengikuti program ini disebut kolonis. Sebagian besar masyarakat yang berkolonisasi tersebut berasal dari Pulau Jawa dan penempatannya berada di Pulau Sumatera.
Program kolonisasi di Indonesia merupakan bagian strategis dari politik etis (etische politiek) yang dicanangkan Gubernur Jenderal Van de Venter, yakni politik balas budi pada rakyat yang secara garis besarnya meliputi program irigasi, edukasi dan kolonisasi itu sendiri.
Adanya politik etis bermula dari timbulnya berbagai kritik, terutama golongan liberal di negeri Belanda terhadap berbagai kebijaksanaan pemerintahnya menyangkut jajahan khususnya Indonesia. Kritikan tersebut pada mulanya disampaikan kaum oposisi tahun 1860. Kemudian kritik itu menjadi luas lagi. Sebab selain dari oposisi juga datang dari beberapa tokoh yang memang bersimpati terhadap rakyat Indonesia.
Baron Van Hoevell serta Vitalis, tokoh dari pihak oposisi menegaskan perkembangan dari usaha dapat mendatangkan kemakmuran bagi negara-negara jajahannya, termasuk bangsa Indonesia. Buku Max Havelaar karangan Doewes Dekker, kakek paman EF. E. Doewes Dekker pimpinan Indische Party yang memiliki nama samaran Multatuli memberi informasi yang bersifat objektif tentang masyarakat Indonesia kepada warganya di negeri Belanda.
Dengan lahirnya Undang-Undang Agraria tahun 1870, maka mulai pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di Indonesia. Sejak itu pula politik liberal kolonial berlangsung. Dibawah politik liberal kolonial, situasi menunjukkan pernyataan yang selalu didengungkan dengan bijak, bahwasanya pengusaha swasta Belanda mampu meningkatkan kemakmuran bagi rakyat ternyata tidak benar.
Akibat yang dialami rakyat tetap dalam keadaan tidak baik. Tak lebih dibandingan dengan pada zaman pelaksanaan sistem tanam paksa. Hal tersebut dimungkinkan karena penetrasi eko-nomi yang dilakukan para pengusaha swasta Belanda tidak hanya tertuju pada lapisan masyarakat atas, melainkan justru dapat lebih menjangkau lapisan jauh ke bawah atau yang lebih rendah. Kenyataan ini menyebabkan semakin besarnya import dari luar negeri, disamping semakin matinya sisi kehidupan ekonomi tradisional.
Dampak negatif lainnya dari liberalisme, perekonomian pen-duduk yang didasarkan atas pertanian, bergeser dan terdesak ke arah ekonomi uang. Banyak petani kehilangan tanah akibat perluasan perkebunan dan perindustrian. Warga setempat tidak mempunyai tanah garapan lagi. Sehingga beralih dari pekerjaan tani ke arah sebagai buruh dalam perkebunan maupun di pabrik-pabrik industri.
Dengan demikian jelas, baik tanam paksa maupun politik liberal kolonial, tetap hanya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Perbedaannya hanya kalau dalam tanam paksa subjek pelaku investasi pemerintah Belanda, sedangkan dalam politik liberal kolonial subjek pelakunya perusahaan-perusahaan swasta. Tapi kedua-duanya sama-sama melaksanakan prinsif harus menyumbangkan saldo ke negeri Belanda. Suatu kebijakan yang biasa disebut dengan istilah drainage politiek atau batig slot politiek.
Karenanya tidak mengherankan jika pada akhir abad ke XIX, keadaan perekonomian rakyat, terutama di Pulau Jawa semakin merosot. Kemerosotan ini lebih lanjut mengakibatkan terjadinya demoralisasi serta kerugian terhadap sendi-sendi organisasi masyarakat. Keadaan yang sedemikian menyebabkan semakin kerasnya kritik yang ditujukan kepada kebijakan pemerintah Be-landa untuk negeri jajahannya.
Kritik tersebut mengarah kepada suatu pembaharuan yang lebih relevan demi untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan rakyat Indonesia. Selanjutnya kritik yang menjadi pola dan prog-ram dari kolonial itu akhirnya dikenal dengan apa yang di-sebut dengan politik etis.
Politik etis upaya strategi yang digunakan pemerintah Hindia Belanda ketika melancarkan ekspansinya ke luar Pulau Jawa. Usaha mereka untuk memperluas wilayah perkebunan diluar Jawa, dibangun dengan pendekatan sosiologis dan antropologis yang amat akurat.
Dalam hal ilmu pengetahuan, semasa itu bangsa Belanda memang sudah lebih duluan maju peradabannya. Sebelum pemerintah Kolonial Belanda datang ke Indonesia, mereka telah lebih dahulu mengirim ahli sosiologi dan antropologi terkemuka, Snouck Hurgronje (1857-1936) untuk melihat dan memahami budaya dan perilaku masyarakat setempat.
Adanya politik etis tersebut dilandasi oleh suatu pemikiran kalau negeri Belanda dirasa memiliki keharusan untuk membalas budi baik rakyat Indonesia melalui program yang dikenal dengan Trilogi Van de Venter. Program ini merupakan hasil kajian kolonial Belanda terhadap daerah jajahannya.
Menurut pendapat mereka, pemerintah Belanda harus me-nempuh tiga kebijakan guna memajukan rakyat setempat. Tetapi dalam pelaksanaannya, ketiga bidang itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita kaum liberal untuk mengangkat kemakmuran dan taraf hidup masyarakat.
Praktek Trilogi tersebut kenyataannya menunjukkan justru dimaksudkan guna melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini lebih intensif lagi. Edukasi yang bertujuan membuka jenjang pendidikan, berupa sekolah-sekolah untuk mencerdaskan rakyat, pada hakikatnya hanya usaha pemerintah Belanda untuk menciptakan tenaga kerja yang murah. Sekolah yang dibuka bukanlah untuk semua lapisan masyarakat namun sangat ter-batas.
Demikian pula dengan pelajaran yang disajikan di sekolah itu, hanya meliputi pelajaran yang sifatnya dapat membantu kaum penjajah Belanda dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri dan perkebunan secara lebih mendalam, yang selanjutnya demi semakin besarnya keuntungan pihak penjajah.
Lulusan dari sekolah itu, ternyata merupakan tenaga kerja yang diperlukan dalam industri dan perkebunan sebagai tenaga kerja rendahan. Suatu jabatan yang dipandang tidak pantas diduduki oleh personal berkulit putih, seperti mandor, juru tulis, yang kesemuanya dapat di gaji dengan jumlah yang kecil dan murah.
Pembangunan jaringan irigasi, sesungguhnya bukan untuk kepentingan rakyat, khususnya petani, melainkan salurannya bagi kepentingan Balanda. Irigasi bukan untuk mengairi areal sawah milik rakyat, namun prioritasnya guna mengairi kebun-kebun milik swasta, terutama kebun tebu, karet dan tembakau serta berbagai tanaman lain yang menguntungkan serta laku keras dipasaran internasional.
Pelaksanaan kolonisasi pada dasarnya bukan mengacu kepada kepentingan rakyat. Kolonisasi direalisasikan tidak lain untuk menghadirkan tenaga kerja baru dari Pulau Jawa ke luar pulau guna mendukung keberhasilan perekonomian Belanda, yakni perkebunan dan industri yang berkaitan dengan hasil kebun tersebut. Realisasi kolonisasi tadi dikarenakan sangat jarangnya penduduk diluar Jawa. Sehingga terlalu sukar untuk mendapatkan tenaga kerja.
Hal itu juga dilakukan Belanda ketika hadir di Lampung. Mereka mengadaptasi sistem pemerintahan lokal, terutama pemerintahan adat untuk mengontrol kawasan yang kaya akan hasil-hasil bumi. Pemerintah kolonial Belanda saat itu tetap menghidupkan pola-pola pemerintahan lokal yang berbentuk kepasirahan atau komunitas masyarakat adat.
Sistem tersebut rupanya mampu memberikan keleluasaan bagi Belanda untuk dapat mengontrol masyarakat. Bahkan se-masa itu Belanda membiarkan kepasirahan menggunakan tata pemerintahan dan hukum lokal untuk menangani kasus-kasus tertentu yang ada di tengah masyarakat, tanpa mereka harus turun tangan ikut serta menyelesaikannya.
Penetapan pemerintahan kepesirahan yang dilakukan pada tahun 1920 hingga 1928, disertai pula dengan penetapan dan pembagian wilayah riil pada marga-marga yang ada didalam kepesirahan. Namun selanjutnya pada tahun 1928, pemerintah Hindia Belanda mengatur kembali struktur masyarakat hukum adat yang berbentuk marga.
Pengaturan itu tertuang dalam suatu tatanan pemerintahan adat yang dikenal dengan Marga Regering Voor de Lampungche Districten. Dengan adanya pengaturan kemargaan tersebut, di daerah Lampung terdapat 83 marga, tersebar di wilayah mulai dari Lampung Selatan hingga berbatasan Sumatera Selatan dan berbatasan dengan Bengkulu sekarang. Sebanyak 78 dari 83 marga ini merupakan marga mayoritas penduduk asli Lampung.
Penegasan secara administratif tersebut kenyataannya telah pula menjadi dasar penyelesaian konflik tanah pada masa itu. Batas-batas wilayah menjadi tanggung jawab masing-masing marga, baik hak-hak atas tanah maupun pengelolaannya. Semua persoalan yang berkaitan dengan tanah saat diselesaikan mengacu pada ketentuan yang telah dibuat.
Meskipun demikian, kemunculan pemerintahan kepesirahan sebagai pucuk pimpinan di kemargaan tidak meminggirkan kontrol Belanda terhadap perilaku warga. Kepemimpinan lokal dan modernisasi administrasi hukum lokal menjadi tanggung jawab pesirah (kepala marga). Namun pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kriminalitas dan keamanan lokal menjadi wewenang pemerintah Belanda.
Cara dan strategi kolonial Hindia Belanda untuk menguasai Lampung terbukti berhasil. Bahkan taktik yang sebelumnya sudah terprogram tersebut membuat kebijakan dan peluang untuk tidak mengubah susunan struktural masyarakat yang telah ada serta berkembang, seperti sisten pemerintahan adat kemargaan dan sebagainya. Sehingga memberi keleluasaan bagi Belanda untuk mengelola wilayah itu.
Dengan pendekatan demikian, pemerintah Belanda pada akhirnya dapat membaca situasi dan mampu menguasai kawasan daerah Lampung yang membentang dari Bakauheni di ujung Pulau Sumatera hingga Liwa, Blambangan Umpu dan Mesuji yang merupakan wilayah Lampung berbatasan dengan Sumatera Selatan saat ini.
Selain mengadopsi sistem lokal yang berlaku dalam tata pemerintahan administratif, penggunaan strategi infrastruktur yang dilakukan pihak Belanda pun terbukti akurat. Misalnya dengan pembukaan wilayah-wilayah di daerah pedalaman di Lampung dengan jalur kereta api, membuat Belanda menguasai betul jalur perdagangan lada yang merupakan komoditas utama semasa itu.
Lada (sahang) salah satu hasil bumi yang banyak ditanam petani di beberapa wilayah daerah di Lampung tetap menjadi incaran mereka. Dalam hal ini, Belanda pernah mengalami puncak kejayaannya terhadap penjualan lada diberbagai belahan dunia berabad-abad lamanya. Lampung salah satu daerah penghasil lada di Indonesia menjadi target untuk mendapatkan komoditi tersebut.
Selain itu, jaringan jalan utama dan irigasi teknis dibangun untuk bisa memberikan akses yang lebih bagi Belanda untuk mengeksploitasi potensi dan kekayaan alam Lampung. Bahkan dapat menggenjot laju perkembangan hasil bumi waktu Belanda melancarkan kolonisasi di Lampung. Itu mengulang suksesnya dalam pengelolaan lahan perkebunan di Deli Serdang dan Medan, Sumatera Utara. Antara tahun 1905 dan 1942 kolonial Belanda mendatangkan ribuan warga dari Jawa untuk bekerja di ladang-ladang kopi, tebu dan persawahan di Pulau Sumatera.
Program kolonisasi pertama di Indonesia penempatannya berada di Lampung. Warga yang berasal dari Pulau Jawa ini ditempatkan ke Lampung berlangsung pada tahun 1905. Saat itu, kafilah generasi pertama dibawa oleh salah satu tokoh yang bertindak sebagai koordinator bernama Kartoredjo.
Rombongan ini disebut juga sebagai cikal bakal kolonisasi Desa Bagelen angkatan pertama yang datang pada tahun 1905. Karena mereka warga kolonis pertama yang diberangkatkan dari Bagelen, Jawa Tengah. Rombongan kolonis dari Jawa tersebut berpindah ke Lampung diangkut dengan kapal laut merapat di pelabuhan Teluk Betung.
Rombongan angkatan pertama tersebut, setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, untuk ke lokasi penempatan selanjutnya berjalan kaki. Daerah yang mereka tuju sebuah tempat bernama Gedong Tataan. Selama tiga hari rombongan ini berjalan. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul atau dipanggul. Bila lelah rombongan beristirahat. Daerah yang dituju, yaitu Gedong Tataan, ternyata masih berupa hutan belukar dan tempatnya belum banyak dihuni penduduk.
Rombongan kolonis angkatan Kartoredjo saat itu sebanyak 43 orang, yang 3 diantaranya wanita. Ketiganya diberi tugas khusus untuk masak memasak. Ketika itu, betapa sulitnya me-nerobos hutan. Jalan yang dilewati masih berupa jalan setapak. Sementara, perkampungan penduduk pribumi Lampung yang ada di daerah ini kebanyakan masih perdusunan/pedukuhan dan umbul-umbul.
Setelah tiba ke tempat tujuan, mulailah mereka menebangi pohon-pohon dan semak belukar pada areal yang dituju. Untuk selanjutnya, setelah daerah penempatan sudah terbuka, secara bertahap kolonis-kolonis ini mulai membangun tempat tinggal masing-masing dengan berdindingkan papan atau kayu serta beratapkan rumbia/alang-alang.
Kedatangan para kolonis dari daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah ke Gedong Tataan dalam penempatannya tidak terjadi sekaligus. Namun rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur dalam beberapa tahun seiring dengan kesiapan penyiapan untuk lahan pemukiman yang dilakukan rombongan pendahulunya.
Hadirnya para kolonis dengan tempat tinggal mereka, mem-buat tumbuh perkampungan baru di daerah ini. Tempat yang tadinya jarang penduduknya dan masih banyak ditumbuhi pepo-honan dan semak belukar di mana-mana itu lambat laun mulai lebih banyak yang bermukim. (Oleh: Akhmad Sadad/Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar